Deltanews.co.id opini
Oleh : Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Has)
Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat (Jabar) tercatat terus bertambah, imbas pandemi COVID-19. Per Maret 2021, jumlah penduduk miskin Jabar tercatat tembus 4,2 juta jiwa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar, jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan dari awalnya 4,19 juta jiwa pada September 2020 menjadi 4,20 juta jiwa pada Maret 2021. (Sindonews, 15/7/2021)
Setelah banyaknya upaya yang dilakukan pemprov Jabar untuk membantu warga terdampak covid-19, namun hal itu tak mampu membendung naiknya angka kemiskinan di Jabar. Pasalnya sektor jasa, pariwisata, pertanian, industri, semua sektor ini terdampak covid-19.
Hal ini berawal dari terlambatnya pemerintah mengambil tindakan. Seharusnya, pemerintah sejak awal melakukan karantina epicentrum dan menutup akses keluar masuknya penumpang dari dalam dan luar negeri, sehingga tidak akan berdampak kepada keterpurukan ekonomi.
Ditambah kebijakan PPKM darurat dan bansos yang semrawut, semakin menunjukkan betapa lemahnya sistem ekonomi kapitalisme dengan managemen korporatokrasinya. Alih-alih dientaskan, kemiskinan dalam sistem destruktif ini seringkali dikapitalisasi alias dibisniskan.
Akar persoalan dari kemiskinan sesungguhnya adalah penerapan sistem kapitalis liberal yang hanya berpihak pada pemilik modal sehingga kemiskinan seperti siklus lingkaran yang tak pernah akan selesai selama sistem ini masih diterapkan.
Demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan kepemilikan (liberalisasi ekonomi) pada faktanya telah melahirkan kemiskinan sistematik. Liberalisasi pengelolaan sumber daya alam adalah salah satunya. Sebagaimana kita ketahui, kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah ternyata tak bisa dirasakan kemanfaatannya oleh rakyat sepenuhnya.
Sumber daya alam (SDA) yang sejatinya adalah bentuk kepemilikan umum ternyata telah beralih kepada negara yang berkolaborasi dengan para pengusaha baik asing maupun lokal. Akibatnya rakyat hidup serba kekurangan. Kalaupun dapat hidup hanya sekadar menjangkau kebutuhan pokoknya saja.
Inilah kemiskinan yang diciptakan oleh demokrasi dengan liberalisasi ekonominya. Bukan hanya kepemilikan umum (sumber daya alam) yang diliberalisasi, demokrasi juga melahirkan liberalisasi layanan umum. Padahal sejatinya, sumber daya alam adalah milik umum yang pengelolaannya seharusnya dapat dimanfaatkan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Negara seharusnya menguasai dan bertanggung jawab atas layanan umum warga negaranya. Namun demokrasi telah mengalihkan fungsi negara tersebut kepada korporasi (swasta). Tentu saja, korporasi tidak mungkin melakukan pelayanan karena mereka pasti mengejar keuntungan.
Akhirnya, layanan umum pun dibisniskan kepada rakyat. Rakyat harus membayar mahal untuk menikmati infrastruktur yang berkualitas. Untuk menggunakan jalan, jasa transportasi, kesehatan yang memadai bahkan sekolah yang berkualitas, rakyat harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Peran negara semacam ini, jelas telah menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat. Negara juga akan kehilangan kemampuannya dalam menjalankan fungsi pemelihara urusan rakyat. Akhirnya, rakyat dibiarkan berkompetisi secara bebas dalam masyarakat.
Realitas adanya orang yang kuat dan yang lemah, yang sehat dan yang cacat, yang tua dan yang muda, dan sebagainya, diabaikan sama sekali. Yang berlaku kemudian adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang dan berhak hidup.
Kesenjangan kaya miskin di dunia saat ini adalah buah dari diterapkannya sistem kapitalisme yang sangat individualis itu. Dalam pandangan kapitalis, penanggulangan kemiskinan merupakan tanggung jawab si miskin itu sendiri, kemiskinan bukan merupakan beban bagi umat, negara, atau kaum hartawan.
Padahal, problem kemiskinan sejatinya adalah problem sistemik bukan sekadar individual. Solusinya pun harus berupa solusi sistemik, bukan solusi individual. Maka, sudah saatnya kita mencari dan menerapkan sistem alternatif selain kapitalisme, tanpa perlu ada tawar-menawar lagi.
Allah SWT. sesungguhnya telah menciptakan manusia, sekaligus menyediakan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan, tidak hanya manusia; seluruh makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti Allah menyediakan rezeki baginya. Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan begitu saja tanpa menyediakan rezeki bagi mereka. Allah SWT. berfirman:
“Allahlah yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rezeki” (TQS ar-Ruum : 40). Dan firmanNya: “Tidak ada satu binatang melata pun di bumi, selain Allah yang memberi rezekinya” (TQS Hud : 6).
Secara i’tiqadi, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah SWT. untuk manusia pasti mencukupi. Meskipun demikian, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Karena, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang sahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut. Islam adalah sistem hidup yang sahih.
Dengan kata lain, yang seharusnya dilakukan adalah mencampakkan demokrasi dan kembali kepada Islam dan sistem ekonominya. Maka, solusi dari persoalan kemiskinan adalah dengan menerapkan Islam kaffah dalam kehidupan. Hanya sistem ekonomi Islam yang mampu mengatasi masalah kemiskinan bahkan memberi kesejahteraan bagi seluruh warganya.
Wallahu a’lam bishshawab.